Malpraktik di dunia pendidikan, dan program induksi untuk mencegahnya
Jika dilihat, malapraktik di dunia pendidikan terjadi akibat guru kurang memahami latar belakang dan bakat siswa serta perbedaan budaya antara guru dengan lingkungan sekolah. Sehingga anak akan semakin malas belajar. Kekerasan dalam pendidikan juga bisa mempengaruhi dan menjadi bagian dari malapraktik terseut. Dalam bukunya yang berjudul “DangerousSchool”, Irwin A. Hyman dan Pamela A. Snook (1999) memaparkan tentang sekolah berbahaya. Buku tersebut ditulis berdasarkan hasil pengalaman dan pengamatannya dalam menjalankan profesinya sebagai psikolog sekolah (school psychologist) selama lebih dari tiga puluh tahun. Dari berbagai kasus yang ditanganinya dan juga kasus-kasus lain yang diamatinya, dia mengungkapkan tentang sekolah berbahaya yang ditandai dengan adanya sejumlah kesalahan perlakuan fisik (physical maltreatment) dan kesalahan perlakuan psikologis (psychological maltreatment) di kelas.
Yang menjadi pusat perhatian tentang kesalahan perlakuan fisik di kelas yaitu berkenaan dengan pemberian hukuman fisik (corporal punishment) oleh guru terhadap siswanya. Banyak ragam tindakan pemberian hukuman fisik yang ditemukan, mulai dari menyuruh siswa melakukan push-up sampai dengan tindakan pemukulan, biasanya dengan dalih pendisiplinan. Seperti yang terjadi di IPDN. Sering sekali kita mendengar siswa harus meregang nyawa karena kekerasan yang dialainya semasa pendidikan. Tindakan hukuman fisik ternyata tidak hanya menimbulkan rasa sakit secara fisik tetapi juga dapat menyebabkan gangguan stress traumatik (posttraumatic stress disorder), dan masalah-masalah emosional bagi yang mengalaminya. Dalam beberapa kasus, tindakan hukuman fisik pun telah menimbulkan berbagai pengaduan (complain) dari para orang tua, bahkan sampai dengan menyeret pelakunya ke pengadilan.
Selain mengungkap tentang kesalahan perlakuan fisik (physical maltreatment), Irwin A. Hyman dan Pamela A. Snook juga mengungkapkan tentang adanya kesalahan perlakuan psikologis (psychological maltreatment), yang meliputi :
1. Pendisiplinan dan teknik pengawasan berdasarkan ketakutan dan intimidasi.
2. Rendahnya jumlah interaksi humanis, yakni guru kurang menunjukkan perhatian, kepedulian dan kasih sayang dalam berkomunikasi dengan siswanya sehingga siswa menjadi terabaikan, terkucilkan dan tertolak.
3. Kesempatan yang terbatas bagi siswa untuk mengembangkan keterampilan dan rasa kehormatan dirinya (feelings of self- worth) secara memadai.
4. Menciptakan sikap ketergantungan dan kepatuhan, justru pada saat siswa sebenarnya mampu untuk mengambil keputusannya secara mandiri.
5. Teknik pemotivasian kinerja siswa dengan banyak mencela, tuntutan yang berlebihan, tidak rasional, serta mengabaikan tingkat usia dan kemampuan siswa.
6. Penolakan terhadap kesempatan pengambilan resiko yang sehat (healthy risk) taking), seperti : penolakan pengeksplorasian gagasan siswa yang tidak lazim dan tidak sesuai dengan pemikiran gurunya.
7. Ungkapan kata-kata kasar, mengejek, penghinaan dan pencemaran nama baik.
8. Mengkambinghitamkan dan menggertak
9. Kegagalan dalam mengatasi suasana ketika ada siswa yang diolok-olok, dicemarkan nama baiknya, dan dijadikan kambing hitam oleh teman-temannya.
Pada dasarnya kesalahan tersebut telah mengabaikan keadilan dan demokrasi dalam pendidikan. Tindakan kekerasan dan pelecehan dalam dunia pendidikan, disadari atau tidak, ibarat menanam bom waktu yang dapat meledak kapan saja. Generasi muda yang terbiasa dengan kekerasan dan tindakan pelecehan akan tumbuh menjadi pribadi-pribadi yang memandang segala sesuatu dari sudut pandang kekerasan pula. Maka, bukan hal yang mustahil kalau mereka akan menerapkan kekerasan dalam perilaku keseharian, terutama ketika menyelesaikan masalah. Inilah yang akhir-akhir ini terjadi dalam dunia pendidikan di Indonesia. Tidak hanya pada kegiatan MOS dan OSPEK, dalam aktivitas belajar mengajar yang dilakukan oleh guru dan dosenpun harus menjadi perhatian.
Pelecehan sekecil apapun atau hukuman yang berlebihan turut andil menabur benih kekerasan dalam diri generasi muda. Karena itu, tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan tujuan pendidikan harus sesegera mungkin di tiadakan, agar lingkaran setan yang menjadi bencana dunia pendidikan dapat segera terputus.
Kekerasan adalah tindakan yang tidak terpuji dan tentunya sangat bertentangan dengan berbagai landasan dalam pendidikan.
Oleh karena itu, Irwin A. Hyman dan Pamela A. Snook memandang perlunya upaya untuk menciptakan iklim sekolah yang sehat dan kehidupan yang demokratis di sekolah.
Teori Pendidikan Keluarga :
Teori Konvergensi (William Stern)
Menurut teori konvergensi hasil pendidikan anak dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu pembawaan dan lingkungan. Diakui bahwa anak lahir telah memiliki potensi yang berupa pembawaan. Namun pembawaan yang sifatnya potensial itu harus dikembangkan melalui pengaruh lingkungan, termasuk lingkungan pendidikan, oleh sebab itu tugas pendidik adalah menghantarkan perkembangan semaksimal mungkin potensi anak sehingga kelak menjadi orang yang berguna bagi diri, keluarga, masyarakat, nusa, dan bangsanya.
Negara mempunyai hak dan kewajiban untuk menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran bagi warga negaranya, sesuai dengan dasar-dasar dan tujuan negara itu sendiri, yaitu mengatur kehidupan umum menurut ukuran-ukuran yang sehat sehingga menjadi bantuan bagi pendidikan keluarga dan dapat mencegah apa-apa yang merugikan perkembangan anak untuk mencapai kedewasaannya.
Apabila keluarga tidak mungkin lagi melaksanakan pendidikan seluruhnya (misalnya pendidikan kecerdasan, pengajaran, dan sebagian dari pendidikan sosial ; perkumpulan anak-anak), disitulah negara, sesuai dengan tujuannya, harus membantu orang tua dengan jalan mendirikan sekolah-sekolah dan badan-badan sosial lainnya. Demikian juga, negara berhak dan berkewajiban melindungi anak-anak, bila kekuatan orang tua – baik material maupun moral – tidak dapat mencukupi, misalnya karena kurang mampu, tidak sanggup, atau lalai.
Lebih lanjut, negara harus berusaha dan memberi kesempatan agar semua warga negara mempunyai pengetahuan cukup tentang kewajiban-kewajiban sebagai warga negara dan sebagai anggota bangsa yang mempunyai tingkat perkembangan jasmani dan rohani yang cukup, yang diperlukan untuk kesejahteraan umum (pendidikan kewarganegaraan), dan tidak bertentangan dengan tujuan pendidikan yang berlaku di negara yang bersangkutan.
Negara berhak memiliki sendiri apa yang perlu untuk pemerintahan dan untuk menjamin keamanan, juga untuk memimpin dan mendirikan sekolah-sekolah yang diperlukan untuk mendidik pegawai-pegawai dan tentaranya, asal pemimpin ini tidak mengurangi hak-hak orang tua.
Kalau teori ini kita sambungkan dengan malapraktik pendidikan tadi, maka kita bisa mendapatkan bahwa keluarga berpengaruh untuk dapat mengurangi malapraktik yang terjadi di kalangan pendidikan. Karena dengan lingkungan yang baik dari keluarga, maka si anak dapat kembali bersemangat untuk belajar. Ataupun orangtua akan memantau sekolah sehingga tidak melakukan hal yang tidak sesuai dalam konteks belajar walaupun itu cara untuk mendisiplinkan anak.
Pembimbing Konselor termasuk orang yang paling berpengaruh untuk mengurangi malapraktik yang terjadi dalam pendidikan. Banyak guru beralih bahwa mereka melakukan tindak kekerasan dikarenakan muridnya malas belajar, ingin mendisiplinkan muridnya ataupun hal-hal lain yang sebenarnya tidak harus diselesaikan dengan cara kekerasan. Anak bisa didisiplinkan dengan bantuan dari Bimbingan Konselor. Seorang guru tidak seharusnya menjatuhkan harga diri seorang anak, tetapi tetap memprioritaskannya menjadi hal yang utama. BK/Konselor hanyalah membantu siswa agar dapat memperoleh kebahagiaan dalam hidupnya.
Lebih jauh, meski saat ini paradigma pelayanan Bimbingan dan Konseling lebih mengedepankan pelayanan yang bersifat pencegahan dan pengembangan, pelayanan Bimbingan dan Konseling terhadap siswa bermasalah tetap masih menjadi perhatian. Dalam hal ini, perlu diingat bahwa tidak semua masalah siswa harus ditangani oleh guru BK (konselor). Dalam hal ini, Sofyan S. Willis (2004) mengemukakan tingkatan masalah berserta mekanisme dan petugas yang menanganinya, sebagaimana dalam bagan berikut :
1. Masalah (kasus) ringan, seperti: membolos, malas, kesulitan belajar pada bidang tertentu, berkelahi dengan teman sekolah, bertengkar, minum minuman keras tahap awal, berpacaran, mencuri kelas ringan. Kasus ringan dibimbing oleh wali kelas dan guru dengan berkonsultasi kepada kepala sekolah (konselor/guru pembimbing) dan mengadakan kunjungan rumah.
2. Masalah (kasus) sedang, seperti: gangguan emosional, berpacaran, dengan perbuatan menyimpang, berkelahi antar sekolah, kesulitan belajar, karena gangguan di keluarga, minum minuman keras tahap pertengahan, mencuri kelas sedang, melakukan gangguan sosial dan asusila. Kasus sedang dibimbing oleh guru BK (konselor), dengan berkonsultasi dengan kepala sekolah, ahli/profesional, polisi, guru dan sebagainya. Dapat pula mengadakan konferensi kasus.
3. Masalah (kasus) berat, seperti: gangguan emosional berat, kecanduan alkohol dan narkotika, pelaku kriminalitas, siswa hamil, percobaan bunuh diri, perkelahian dengan senjata tajam atau senjata api. Kasus berat dilakukan referal (alihtangan kasus) kepada ahli psikologi dan psikiater, dokter, polisi, ahli hukum yang sebelumnya terlebih dahulu dilakukan kegiatan konferensi kasus.
Secara visual, penanganan siswa bermasalah melalui pendekatan Bimbingan dan Konseling dapat dilihat dalam bagan berikut ini:
Dengan melihat penjelasan di atas, tampak jelas bahwa penanganan siswa bermasalah melalui pendekatan Bimbingan dan Konseling tidak semata-mata menjadi tanggung jawab guru BK/konselor di sekolah tetapi dapat melibatkan pula berbagai pihak lain untuk bersama-sama membantu siswa agar memperoleh penyesuaian diri dan perkembangan pribadi secara optimal.
Dari kasus diatas, bisa kita simpulkan bahwa Tidak umum lagi kalau dunia pendidikan saat ini baik lulusan dan yg masih bersekolah dikritik karena tindakan tidak terpuji seperti melakukan tawuran , penodongan (criminal), ataupun seksual dan menggunakan obat-obat terlarang. Hal itu benar-benar meresahkan masyrakat apalagi ditambah adanya jumlah pengangguran yang meningkat. Adanya hal ini membuat potret pendidikan di Indonesia menjadi tidak baik bagi pandangan negara lain.
pendidikanyang memiliki arti proses perubahan sikap dan tingkah laku seseorang atau sekelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan.
Teori Pendidikan Keluarga
Kata keluarga dapat diambil kefahaman sebagai unit sosial terkecil dalam masyarakat, atau suatu organisasibio-psiko-sosio-spiritual dimana anggota keluarga terkait dalam suatuikatan khusus untuk hidup bersama dalam ikatan perkawinan dan bukan ikatan yang sifatnya statis dan membelenggu dengan saling menjagakeharmonisan hubungan satu dengan yang lain. Jadi dapat disimpulkan, pengertian pendidikan keluarga adalah proses transformasi prilaku dan sikap di dalam kelompok atau unit sosial terkecil dalam masyarakat. Sebab keluarga merupakan lingkungan budayayang pertama dan utama dalam menanamkan norma dan mengembangkanberbagai kebiasaan dan prilaku yang penting bagi kehidupan pribadi,keluarga dan masyarakat.
Secara, konteks pengertian pendidikan keluarga dapat kita lihat bahwa keluarga juga memegang peranan yang penting dalam fenomena pendidikan yang terjadi. Di dalam keluarga jika tidak ditanam pendidikan yang baik maka efek yang negatif bisa saja terjadi pada anaknya. Misalnya: orang tua yang bertengkar, bisa saja hal itu membawa anak tersebut terjerumus kedalam obat-obat terlarang.oleh karena itu, pendidikan dalam keluarga seperti menanam norma dan nilai yang baik sangatlah penting.
Tidak dpt dipungkiri juga kalau keberadaan bimbingan dan konseling sangat diperlukan.Iklim dan lingkungan yang “tidak sehat” membuat keberadaan Bimbingan menjadi sangat urgen dan mutlak ada.Kenakalan siswa, misalnya. Itu merupakan salah satu faktor penyebab lingkungan / iklim menjadi rusak. Dan siswa merupakan aktor utama dalam peristiwa tersebut. Dan bimbingan dissekolah mempunyai tugas untuk mencari penyebab terjadinya kenakalan remaja tersebut.Peran guru sebagai pendidik (nurturer) merupakan peran-peran yang berkaitan dengan tugas-tugas memberi bantuan dan dorongan (supporter) tugas-tugas pengawasan dan pembinaan (supervisor) serta tugas-tugas yang berkaitan dengan mendisiplinkan anak agar anak itu menjadi patuh terhadap aturan-aturan sekolah dan norma hidup dalam keluarga dan masyarakat. Tugas-tugas ini berkaitan dengan meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan anak untuk memperoleh pengalaman-pengalaman lebih lanjut seperti penggunaan kesehatan jasmani,bebas dari orang tua,dan orang dewasa lain,moralitas dan tanggung jawab kemasyarakatan,pengetahuan dan keterampilan dasar,persiapan untuk perkawinan dan hidup berkeluarga,pemilihan jabatan dan hal-hal yang bersifat personal dan spiritual.
Oleh karena itu tugas guru dapat disebut pendidik dan pemelihara anak. Guru sebagai penanggung jawab pendisiplinan anak harus mengontrol setiap aktifitas anak-anak agar tingkah laku anak tidak menyimpang dengan norma-norma yang ada.
Untuk kalangan sekolah yang belum mampu menerapkan sistem RSBI dikarenakan kendala biaya, yang harus ditekankan adalah menjunjung tinggi essensi psikologi pendidikan dalam penerapan sistem belajar mengajarnya, karena itu adalah dasar dari pendidikan tak peduli apapun taraf sekolah tersebut. Agar dapat memenuhi sistem pembelajaran yang tepat, pendidik harus mampu :
Dengan memahami psikologi pendidikan yang memadai diharapkan guru akan dapat lebih tepat dalam menentukan bentuk perubahan perilaku yang dikehendaki sebagai tujuan pembelajaran. Misalnya, dengan berusaha mengaplikasikan pemikiran Bloom tentang taksonomi perilaku individu dan mengaitkannya dengan teori-teori perkembangan individu. 2. Memilih strategi atau metode pembelajaran yang sesuai.
Dengan memahami psikologi pendidikan yang memadai diharapkan guru dapat menentukan strategi atau metode pembelajaran yang tepat dan sesuai, dan mampu mengaitkannya dengan karakteristik dan keunikan individu, jenis belajar dan gaya belajar dan tingkat perkembangan yang sedang dialami siswanya.
3. Memberikan bimbingan atau bahkan memberikan konseling.
Tugas dan peran guru, di samping melaksanakan pembelajaran, juga diharapkan dapat membimbing para siswanya. Dengan memahami psikologi pendidikan, tentunya diharapkan guru dapat memberikan bantuan psikologis secara tepat dan benar, melalui proses hubungan interpersonal yang penuh kehangatan dan keakraban.
4. Memfasilitasi dan memotivasi belajar peserta didik.
Memfasilitasi artinya berusaha untuk mengembangkan segenap potensi yang dimiliki siswa, seperti bakat, kecerdasan dan minat. Sedangkan memotivasi dapat diartikan berupaya memberikan dorongan kepada siswa untuk melakukan perbuatan tertentu, khususnya perbuatan belajar. Tanpa pemahaman psikologi pendidikan yang memadai, tampaknya guru akan mengalami kesulitan untuk mewujudkan dirinya sebagai fasilitator maupun motivator belajar siswanya.
5. Menciptakan iklim belajar yang kondusif.
Efektivitas pembelajaran membutuhkan adanya iklim belajar yang kondusif. Guru dengan pemahaman psikologi pendidikan yang memadai memungkinkan untuk dapat menciptakan iklim sosio-emosional yang kondusif di dalam kelas, sehingga siswa dapat belajar dengan nyaman dan menyenangkan.
Pemahaman guru tentang psikologi pendidikan memungkinkan untuk terwujudnya interaksi dengan siswa secara lebih bijak, penuh empati dan menjadi sosok yang menyenangkan di hadapan siswanya.
7. Menilai hasil pembelajaran yang adil.
Pemahaman guru tentang psikologi pendidikan dapat mambantu guru dalam mengembangkan penilaian pembelajaran siswa yang lebih adil, baik dalam teknis penilaian, pemenuhan prinsip-prinsip penilaian maupun menentukan hasil-hasil penilaian.
Pendidik di sekolah RSBI maupun non RSBI diharapkan dapat menerapkan pengajaran yang demikian agar pendidikan yang hendak dicapai dapat dijalankan dengan baik.
Teori Pendidikan Keluarga
dari artikel di atas kita bisa melihat bahwa sekolah RSBI masih menjadi dilema bagi masyarakat dikarenakan biaya operasionalnya tidak bisa dibilang murah. Begitu banyak persiapan yang harus dipenuhi oleh pihak sekolah untuk menjadikan sekolahnya RSBI yang tepat guna adalah alasan utama mahalnya pendidikan bertaraaf ini. Dalam hal ini sebenarnya orang tua tidak perlu menjadi cemas bahwa anaknya tidak mendapat pendidikan semestinya. Orang tua terutama harus memback-up anak-anaknya melalui pendidikan di rumah karena menurut Masaru Ibuka (1980), dalam tulisannya mengenai pendidikan anak, mengatakan bahwa anak hendaknya mulai ‘dididik’ sejak lahir. Alasan yang diberikan untuk memulai pendidikan pada masa dini antara lain adalah perkembangan otak cepat terbentuk pada usia dibawah tiga tahun, banyak keterampilan yang hanya dapat dikuasai bila dipelajari pada usia sangat dini. Jelas disini bukan berarti jika bukan anak yang menuntut ilmu di sekolah RSBI tidak berarti anak tersebut tidak bisa mengejar pendidikan yang ada. Motivasi dari lingkungan keluarga agar anak bisa berkembang dalam pendidikannya akan sangat mempengaruhi. Motivasi keluarga merupakan landasan essensial bagi anak untuk berkembang dengan mandiri dalam pendidikannya tak peduli seberapa mahal aataupun murahnya program pendidikan yang dia tempuh.
Dalam perjalanannya bukan hanya guru saja yang harus berbenah untuk mencapai mutu yang sama dengan RSBI. Murid sendiri juga harus giat membekali dirinya dengan pengetahuan seperti yang dilandaskan dalam teori pembelajaran konstruktivis (constructivist theories of learning) Teori konstruktivis ini menyatakan bahwa siswa harus menemukan sendiri dan mentransformasikan informasi kompleks, mengecek informasi baru dengan aturan-aturan lama dan merevisinya apabila aturan-aturan itu tidak lagi sesuai। Bagi siswa agar benar-benar memahami dan dapat menerapkan pengetahuan, mereka harus bekerja memecahkan masalah, menemukan segala sesuatu untuk dirinya, berusaha dengan susah payah dengan ide-ide।Teori ini berkembang dari kerja Piaget, Vygotsky, teori-teori pemrosesan informasi, dan teori psikologi kognitif yang lain, seperti teori Bruner (Slavin dalam Nur, 2002: 8). Dan ini semua dapat dicapai kembali lagi jika siswa mendapat bekal yang kuat dari lingkungan keluarga dan pembelajaran yang mendukung dari sekolah. Bimbingan dan motivasi dari pihak pengajar memang sangat dibutuhkan dalam hal ini, dengan demikian ada keselarasan antara pihan pengajar dan diajar hingga terjadi keselarasan dalam perjalanannya menuju sistem pendidikan yang bermutu.
Jadi, intinya bukan masalah apakah sekolah berstandar RSBI atau bukan,ataupun seberapa mahal anggaran pendidikan yang dikeluarkan, melainkan koordinasi aktif dan kesiapan pihak keluarga,sekolah, maupun murid itu sendiri untuk mempersiapkan dan mendapatkan pendidikan yang baik dan tepat guna.