Seni dan Ilmu Mengajar
Dikatakan bahwa mengajar merupakan seni dan ilmu dalam mentransformasikan bahan ajar kepada peserta didik pada situasi dan dengan menggunakan media tertentu.
Mengapa disebut seni?
Dan mengapa pula disebut ilmu?
Jika didefinisikan satu persatu, seni sendiri merupakan keahlian untuk membuat karya yang bermutu. Dan ilmu sendiri adalah pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode tertentu, yang dapat menjelaskan suatu gelaja dalam bidang ilmu pengetahuan.
Bisa kita cerna bahwa mengapa mengajar membutuhkan seni dan ilmu, karena dalam mentransformasikan bahan ajar, diperlukan keahlian, kekahlian untuk membuat peserta ajar menjadi bermutu melalui pengetahuannya. Membuat mereka menjadi seseorang bermutu tentu membutuhkan cara yang berbeda-beda dan kompleks karena pada dasarnya manusia adalah kompleks. Suatu cara mengajar kepada satu peserta ajar belum tentu cocok saat diberikan kepada yang lainnya. Karenanya dibutuhkan seni daalm metode pentransformasiannya. Seni kreatif penuh improvisasi untuk membuat suasana kelas tidak datar, sehingga bisa terjalin keterikatan emosi antar semua orang dalam kelas, hingga pengajar dapat memberikan motivasi dan dorongan dengan mudah serta efektif kepada peserta ajar.
Begitu pula dengan ilmu, mengapa mengajar merupakan ilmu, karena dalam mengajar dibutuhkan pengetahuan. Baik pengetahuan mengenai bahan ajar, pengetahuan mengenai peserta ajar, hingga pengetahuan mengenai situasi belajar. Maka pada saat terjadi proses pentransformasian bahan ajar itu sendiri, tidak hanya semata-mata memberikan bahan ajar, tapi bagaimana pengajar dapat mengemasnya dengan seni dan ilmu yang tepat agar sampai tepat sasaran pula kepada peserta ajar yang bersangkutan. Pengajar hendaknya merupakan orang berilmu dan dapat menghargai keunikan tiap peserta ajar dalam kelasnya. Dikatakan bahwa pengajar berilmu harusnya mencerminkan keterpelajaran, integritas pribadi dan kemampuan berkomunikasi yang baik dengan siswa. Dengan demikian diyakini bahwa proses transformasi pengetahuan akan lebih efektif terjadi.
Pada awal memasuki kelas paedagogi semester ini, tiba-tiba peserta kelas paedagogi ini “diolahragakan” dengan permainan lempar-tangkap bola sembari menyatakan alasan kenapa memasuki kelas paedagogi. Terlihat simpel namun sudah terlihat bahwa ada seni dalam pelaksanaannya. Tidak hanya sekedar berdiri satu-persatu, menyatakan alasan, kemudian kelas monoton karena semua saling bosan menunggu selesainya “ritual” tersebut. Kemudian dalam segi ilmu, kelas mulai dikembangkan dengan komunikasi via chat dalam berbagai website. Tiap orang dituntut memiliki ilmu dalam teknologi dan komunikasi. Semua peserta terlibat dalam pencarian ilmu untuk menggunakan system chat tersebut, sehingga kembali ada hal-hal baru yang didapat oleh tiap peserta, juga pengajar.
Karenanya, jelas harus ada seni dan ilmu dalam mengajar.
Danim, Sudarwan, (2010), Pedagogi, Andragogi, dan Heutagogi. Bandung: Alfabeta